*Disclaimer, cerita ini hanya legenda, mungkin sebagian ada sebagian hanya sebatas cerita
Legenda Asal Usul Desa Sigedang
I. Kabut di Tanah Tinggi
Di dataran tinggi Dieng, di antara gunung-gunung yang menjulang dan kabut yang tak pernah benar-benar pergi, terdapat sebuah desa bernama Sigedang. Desa ini terletak di Kecamatan Kejajar, Kabupaten Wonosobo, Jawa Tengah. Namun, sedikit yang tahu bahwa desa ini menyimpan kisah kuno yang diwariskan secara lisan dari generasi ke generasi—kisah tentang dua saudara sakti, sebuah sendang suci, dan telaga yang dalamnya menyentuh langit.
Konon, sebelum desa Sigedang berdiri, tanah ini hanyalah hutan belantara yang dijaga oleh makhluk-makhluk gaib. Hingga suatu hari, langit mengirim utusan: Mbah Bawak, seorang empu tua yang dipercaya sebagai penjaga gerbang antara dunia manusia dan alam lelembut. Ia datang membawa titah dari Kerajaan Mataram, yang saat itu sedang mencari tanah suci untuk memulai peradaban baru.
II. Dua Saudara dan Dua Pusaka
Mbah Bawak tidak datang sendiri. Ia membawa dua cucunya yang sakti mandraguna: Jaka Giri, sang kakak yang menguasai ilmu tanah dan batu, dan Rara Tirta, sang adik yang bersahabat dengan air dan angin. Kepada mereka, Mbah Bawak memberikan dua pusaka sakti:
-
-
Cangkul Giriwesi, cangkul dari besi langit yang bisa membelah gunung dan memunculkan mata air.
-
Kendi Tirta Langit, kendi berisi air dari awan yang bisa menciptakan telaga.
Dengan pusaka itu, mereka turun ke lembah MbAlong, tempat yang dipilih sebagai pusat peradaban baru. Jaka Giri menancapkan cangkulnya ke tanah, dan dari sana memancar air jernih yang membentuk Sendang Sigedang. Airnya dingin, bening, dan memancarkan cahaya biru setiap malam bulan purnama.
Rara Tirta, dengan kendi sakti, menuangkan air ke sebuah cekungan besar. Dari sana lahirlah Telaga Menjer, luas dan dalam, permukaannya memantulkan langit dan menyimpan gema suara gamelan gaib. Karena Telaga Menjer lebih besar dan megah, perhatian para leluhur dan makhluk gaib pun lebih banyak tertuju ke sana. Sendang Sigedang tetap kecil dan sederhana, namun menyimpan kekuatan spiritual yang tak kalah sakti.
III. Tiga Dusun dan Penjaga Gaib
Seiring waktu, Kerajaan Mataram mengirimkan para pemukim untuk membuka lahan dan membangun rumah. Tiga titik awal pemukiman pun terbentuk:
-
Dusun Sodo, terletak di atas desa, menjadi tempat para pertapa dan pemikir. Di sana tinggal Nyai Sodo, roh penenun awan yang menjaga ketenangan pikiran.
-
Dusun Sigandul, di utara, menjadi pusat pertanian dan perdagangan. Dijaga oleh Kyai Andul, makhluk berkepala kerbau yang melindungi hasil bumi.
-
MbAlong, tempat Sendang Sigedang berada, menjadi pusat spiritual dan ritual. Di sana bersemayam Jin Sigedang, roh air yang hanya muncul saat gerhana.
Ketiga dusun ini bersatu dan membentuk satu wilayah yang disebut Sigedong. Nama ini berasal dari kata “Gedong” dalam bahasa Jawa, yang berarti lembah atau dataran yang dikelilingi gunung-gunung. Namun, seiring berjalannya waktu, bahasa dan budaya pun berubah. Nama “Sigedong” perlahan bergeser menjadi Sigedang, sebagai bentuk penghormatan terhadap sendang suci yang menjadi awal mula kehidupan di wilayah tersebut.
IV. Murka Jin Sigedang
Namun, tidak semua makhluk gaib senang dengan perubahan itu. Jin Sigedang, yang merasa dilupakan karena sendangnya kalah megah dari Telaga Menjer, mulai menunjukkan murka. Ia menebarkan kabut tebal yang tak kunjung hilang, membuat penduduk tersesat dan panen gagal. Suara gamelan gaib terdengar dari dasar telaga, dan beberapa penduduk mengaku melihat bayangan makhluk besar di permukaan air.
Jaka Giri dan Rara Tirta, yang sudah menua, merasa bertanggung jawab. Mereka melakukan tirakat di puncak Gunung Sindoro, memohon petunjuk dari Mbah Bawak. Dalam wujud cahaya, Mbah Bawak muncul dan memberi mereka tugas terakhir: menyatukan energi sendang dan telaga melalui Sesaji Tiga Penjuru.
V. Larung Sesaji dan Pemulihan
Upacara besar pun dilakukan. Penduduk dari tiga dusun berkumpul, membawa sesaji berupa hasil bumi, kain tenun, dan kendi air. Mereka melarung sesaji ke Telaga Menjer dan Sendang Sigedang, sambil membacakan mantra kuno yang diwariskan oleh Mbah Bawak.
Saat sesaji menyentuh air, kabut mulai menghilang. Jin Sigedang muncul dalam wujud naga air, menerima penghormatan dan berjanji akan kembali menjaga keseimbangan. Telaga Menjer kembali jernih, panen kembali subur, dan desa Sigedang menjadi pusat spiritual yang dihormati hingga kini.
VI. Warisan Leluhur
Hingga hari ini, masyarakat Sigedang masih mengadakan Ruwatan Air setiap tahun, sebagai bentuk penghormatan kepada Jaka Giri, Rara Tirta, dan Mbah Bawak. Telaga Menjer dan Sendang Sigedang menjadi simbol dualitas: kekuatan besar dan kesederhanaan yang sakti.
Dan legenda ini, meski hanya diceritakan di antara kabut dan angin, tetap hidup di hati penduduk Sigedang—sebuah pengingat bahwa tanah yang mereka pijak bukanlah tanah biasa, melainkan warisan langit dan leluhur.